Vaksin Palsu Diproduksi Sejak 2003 Dan Ditemukan di Tiga Provinsi

Dari operasi tersebut, diketahui
bahwa sindikat tersebut telah memproduksi vaksin palsu sejak tahun 2003 dengan
distribusi di seluruh Indonesia.
"Dari pengakuan para pelaku,
vaksin palsu sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Sejak kapannya, yaitu sejak
2003," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen
(Pol) Agung Setya di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (23/6/2016).
Hingga saat ini, penyidik baru
menemukan barang bukti vaksin palsu di tiga daerah, yakni Jawa Barat, Banten,
dan DKI Jakarta.
Agung menjelaskan, pelaku
berjumlah 10 orang. Dari 10 orang itu, lima orang bertindak sebagai produsen,
dua orang sebagai kurir, dua orang sebagai penjual dan satu orang bertindak
sebagai pencetak label vaksin palsu.
Kelompok penjual dan produsen
masing-masing mendapat keuntungan paling besar dari praktik ilegal tersebut. "Untuk produsen mendapat
keuntungan Rp25 juta per pekan. Sementara penjual Rp20 juta per pekan,"
ujar Agung.
Vaksin palsu itu dijual dengan
harga miring. Hal inilah yang diduga menjadi alasan vaksin palsu tersebut cukup
laku di pasaran. Kini, penyidik tengah menyelidiki
apakah ada oknum dari rumah sakit, puskesmas, atau klinik kesehatan yang turut
terlibat dalam sindikat tersebut atau tidak.
Agung mengatakan, pengadaan
vaksin di tempat pelayanan kesehatan mempunyai mekanisme sendiri yang diatur
oleh BPPOM.
Agung menjelaskan, pelaku,
khususnya kelompok produsen, kebanyakan merupakan lulusan sekolah apoteker. Namun,
mereka tidak menerapkan standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian
Kesehatan dalam memproduksi vaksin itu. Misalnya, cairan yang mereka
gunakan sama sekali bukanlah cairan yang seharusnya menjadi bahan baku vaksin.
Dari penggeledahan dan
pemeriksaan yang dilakukan kepolisian, diketahui para pelaku menggunakan cairan
antitetanus dicampur dengan cairan infus sebagai bahan dasar vaksin palsu
tersebut.
"Zat dasarnya dua itu.
Cairan infus dan antitetanus. Dia campur, lalu dimasukkan ke dalam botol bekas.
Untuk seperti sempurna, ada alat pengemasan dan diberikan label palsu juga.
Setelah itu, baru didistribusikan," ujar Agung.
Selain itu, vaksin tidak dibuat
di laboratorium yang higienis, tetapi di sebuah gudang yang "disulap"
menjadi tempat peracikan vaksin.
Agung memaparkan, terungkapnya
sindikat pemalsu vaksin balita ini berawal dari ditemukannya fakta bahwa banyak
anak yang kondisi kesehatannya terganggu setelah diberikan vaksin.
Selain itu, ada apula laporan
pengiriman vaksin balita di beberapa puskesmas yang mencurigakan. Penyidik
kemudian menganalisis dan melakukan penyelidikan.
Pada 16 Mei 2016, penyidik
menangkap pelaku bernama Juanda yang merupakan penjual vaksin palsu melalui dua
toko obat miliknya, CV. Azka Medical yang terletak di Jalan Raya Karang Santri
Nomor 43 Bekasi, dan Bumi Sani Permai, Tambun, Bekasi. Penyidik turut menggeledah rumah
kontrakan milik pelaku yang terletak di Dewi House, Jalan Pahlawan Nomor 7,
Tambun, Bekasi.
"Setelah digeledah dan
diperiksa, diketahui toko obat yang dimiliki J ini tidak memiliki legalitas
sekaligus tidak mengantongi izin pengedaran vaksin," ujar Agung.
Penyidik menetapkan J sebagai
tersangka dan mengenakan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp1,5 milyar. Penangkapan J mengarah ke pengembangan berikutnya.
Pada 21 Juni 2016, penyidik
menggeledah enam titik. Keenam titik itu yakni Apotek Rakyat Ibnu Sina, sebuah
rumah di Jalan Manunggal Sari, sebuah rumah di Jalan Lampiri Jatibening, sebuah
rumah di Puri Hijau Bintaro, sebuah rumah di Jalan Serma Hasyim Bekasi Timur,
dan Kemang Regency.
Di tiga lokasi, penyidik
menangkap sembilan pelaku yang masing-masing terdiri dari lima orang sebagai
produsen, dua orang sebagai kurir, satu orang sebagai pencetak label palsu, dan
seorang lainnya merupakan penjual vaksin palsu. Dua dari lima produsen berinisial
R dan H adalah pasangan suami istri.
Dalam seluruh penggeledahan,
penyidik mengamankan barang bukti, yakni 195 saset hepatitis B, 221 botol
vaksin polio, 55 vaksin antisnake, dan sejumlah dokumen penjualan vaksin.
Kesembilan orang tersebut kini sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka dijerat Pasal 197
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman
maksimal 15 tahun dan denda Rp1,5 miliar dan Pasal 62 juncto Pasal 8
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin
Haiti berpesan, penyidik harus mengusut
perkara tersebut sampai tuntas.
Ia juga menekankan agar diusut
dugaan keterlibatan oknum tempat pelayanan kesehatan untuk mengedarkan vaksin
palsu tersebut.
"Kembangkan sampai ke
jaringan-jaringannya sehingga semua itu bisa diungkap dan masyarakat tidak
dirugikan," ujar Badrodin. (kompas.com)
Tidak ada komentar