Langgar HAM, Jepang Diminta Bertanggungjawab Atas Dugaan Pembantaian di Petikah
Di sinilah lokasi yang diduga makam atas pembantaian warga yang diperbudak oleh tentara Jepang. |
Hal tersebut terungkap berdasarkan hasil penelusuran masyarakat desa setempat. Dimana di dalam penelusuran tersebut, masyarakat menemukan sejumlah bukti sejarah peninggalan Jepang.
Bukti sejarah yang ditemukan itu diantaranya tiang bangunan kantor (basecamp) Jepang yang masih berdiri tegak hingga saat ini, dan parit galian Jepang yang masih menganga lebar.
Selain itu, terdapat pula gundukan tanah yang luas dan teratur yang diduga makam (kuburan) massal atas dugaan pembantaian yang dilakukan oleh tentara Jepang pada masa memperkerjakan secara paksa warga negara Indonesia dari berbagai suku bangsa kala itu.
Paulus Alexander, S.Pd.K, Ketua Tim penggagas ide sekaligus penanggung jawab umum pengangkat situs sejarah tersebut menyatakan, kekejaman tentara Jepang terhadap warga pada masa itu tidak hanya sekedar memperkerjakan secara paksa dan pembantaian semata, melainkan para perempuan-perempuan dijadikan budak sex.
"Ini sudah keterlaluan. Sebab, ini merupakan pelanggaran HAM berat. Pemerintah Jepang harus bertanggung jawab atas perbudakan dan tragedi berdarah silam tersebut," ucapnya dengan nada geram, Rabu (3/11/2018).
Melalui Alexander, masyarakat setempat berharap kepada pemerintah maupun pihak terkait, agar segera mendirikan monumen di tempat tersebut, dengan tujuan untuk mengkui sejarah atas peristiwa yang telah terjadi pada masa itu.
"Apabila didirikan monumen, maka sejarah Petikah ini telah diakui sehingga tidak akan pernah terlupakan karena ada bukti. Dimana nenek moyang kami merupakan korban dalam tragedi berdarah yang terjadi hampir selama tiga (3) tahun tersebut," ungkapnya.
Dijelaskan Alexander, penelusurannya bersama masyarakat setempat di lokasi yang diduga tempat perbudakan dan pembantaian tersebut, berdasarkan hasil dari cerita orang tua terdahulu.
"Cerita orang tua kami tersebut menemukan titik terang setelah saya bersama masyarakat setempat yang merupakan tim penelusuran melakukan penelusuran selama delapan (8) hari," terangnya.
Menurut Alexander, keberadaan Jepang di Petikah pada masa itu untuk mengeruk hasil kekayaan yang berada di dalam perut bumi.
"Barang berharga yang ada di dalam perut bumi tersebut adalah batu tungau (batu cinnabar)," terangnya.
Lebih lanjut Alexander mengatakan, dirinya sudah menyampaikan permasalahan tersebut kepada Presiden RI Joko Widodo melalui surat (proposal) pada tanggal 3 Maret 2018 lalu.
"Tembusan kita ada kepada Komnas HAM, Kapolri, Panglima TNI, Kedutaan besar Jepang, Gubernur, Bupati dan Camat," katanya.
Dikatakannya, tujuan surat dan tembusan tersebut adalah agar pemerintah lebih mendetail untuk mempelajari, melihat dan mengenang sejarah. Namun yang tidak kalah penting lanjut dia, agar keberadaan Petikah tersebut jelas dan diketahui tempatnya yang sesungguhnya.
"Di dalam situs sejarah, Petikah ini sama sekali tidak terdeteksi. Saya sudah buka semua situs sejarah, tapi tidak menemukannya," pungkas Alex.
Menanggapi hal tersebut, anggota DPRD Kabupaten Kapuas Hulu, Fabianus Kasim, S.H mengatakan, selaku pribadi dan kelembagaan, dirinya akan berusaha untuk memfasilitasi untuk mengkomunikasikannya ke Pemerintah pusat karena menurutnya, ranah tersebut bukan di pemerintah daerah.
"Saya akan mencoba berkomunikasi dengan pemerintah pusat dalam hal ini Kemenkumham," ujarnya.
Kasim juga berharap kepada pihak TNI, Polri, dan lembaga lainnya untuk membuat tim investigasi dalam rangka mencari fakta.
"Lembaga-lembaga tersebut yang berkompeten dalam membuat tim pencari fakta untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Ini tentunya membutuhkan proses yang sangat panjang. Intinya saya akan melakukan komunikasi dalam rangka meminta petunjuk terlebih dahulu dengan pihak-pihak terkait di pemerintah Kabupaten sebelum ke pemerintah pusat," ungkap Fabianus Kasim.
[Noto]
Tidak ada komentar