Tolak Aktivitas Tambang Emas Gunakan Alat Berat di Desa Nanga Mentebah
Satu unit alat berat (Excavator), yang bekerja tambang emas di wilayah Desa Nanga Mentebah. |
Demikian inti dari salah satu kalimat yang tertera pada surat keputusan bersama antara Pemerintah Desa Nanga Mentebah, BPD, Punggawa Kecamatan Mentebah, Ketua Adat Desa Nanga Mentebah, Tokoh Masyarakat dan warga masyarakat Desa Nanga Mentebah, Kecamatan Mentebah, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat.
Kondisi lahan warga setelah dikerjakan alat berat untuk menambang emas di wilayah Desa Nanga Mentebah. |
Kondisi lahan yang dikerjakan alat berat untuk menambang emas. |
Surat keputusan bersama yang dibuat awal, yang menyatakan tidak setuju terhadap alat berat menambang emas di wilayah Desa Nanga Mentebah. |
Selain itu, pihak desa juga menyarankan kepada pemohon (pemilik tanah) agar mentaati ketentuan yang diatur, yakni menjaga azas pemanfaatan dan kelangsungan hidup masyarakat.
Surat keputusan bersama yang dibuat untuk kedua kalinya, yang berbalik menyatakan setuju alat berat menambang emas di wilayah Desa Nanga Mentebah. |
Sebagaimana diketahui, aktivitas tersebut memang bekerja di lahan (tanah) pribadi milik warga setempat. Namun, beberapa warga masyarakat setempat lainnya menilai bahwa akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan pencemaran terhadap air yang berada di sekitarnya sehingga terjadi pro - kontra bagi sebagian masyarakat setempat.
Kepada media ini, mewakili warga masyarakat Desa Nanga Mentebah, mulai dari RT 01 hingga RT 07, Yusuf, warga setempat mengatakan, aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) khusus menggunakan alat berat tersebut dinilainya hanya segelintir masyarakat saja yang menikmati hasilnya. Sebaliknya, banyak masyarakat yang nantinya akan terkena dampak buruknya.
"Saya berharap kepada pihak terkait, untuk segera menghentikan aktivitas pertambangan emas yang menggunakan alat berat tersebut selagi baru satu unit saja yang beraktifitas sebelum mengakibatkan dampak lingkungan yang terlalu parah," ujarnya kepada media ini, beberapa hari lalu di Putussibau.
Ditegaskan Yusuf, inti dari yang diinginkan oleh sejumlah masyarakat yaitu agar alat berat tersebut dikembalikan karena dinilai akan berefek buruk bagi kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan, khususnya pencemaran terhadap air sungai Mentebah.
Yusuf mengatakan, dalam aktivitas tersebut, hutan desa atau hutan masyarakat, sudah ada yang terjarah. Bahkan, mereka ngotot untuk bekerja menggali emas menggunakan alat berat, karena mereka menilai berdasarkan tanah atau hak milik pribadi namun nampaknya bukan hanya itu saja melainkan yang ditargetkan adalah lahan atau hutan milik desa (masyarakat).
"Itu yang kami sangat tidak setuju karena imbas kedepannya bukan hanya mereka yang bekerja di situ melainkan akan berimbas kepada semua masyarakat desa Nanga Mentebah. Bahkan hutan yang dulunya milik desa (masyarakat), namun semenjak adanya alat berat beroperasi di situ, sudah banyak masyarakat yang mengkapling (mengaku) atau mengelola hutan tersebut untuk dijadikan hak milik pribadi," papar Yusuf.
Sementara lanjut Yusuf, hutan yang diakui tersebut sebenarnya adalah merupakan hak milik masyarakat desa Nanga Mentebah namun masyarakat desa tetangga nampaknya lebih berkuasa daripada masyarakat desa Nanga Mentebah.
"Dimohon kepada Polsek Mentebah, Polres Kapuas Hulu dan Polda Kalbar serta pihak terkait lainnya agar segera menghentikan kegiatan alat berat yang berkerja menggali emas di desa Nanga Mentebah ini," pinta Yusuf.
Pada kesempatan yang sama, Ayub, yang juga warga Desa Nanga Mentebah, menyatakan hal senada. Dimana ia juga menilai bahwa aktivitas tersebut akan sangat merugikan masyarakat banyak, namun yang diuntungkan hanya segelintir orang saja.
"Apa keuntungan yang masyarakat setempat dapat dari pertambangan yang menggunakan alat berat tersebut? Karena itu kan lahan pribadi. Tentunya yang untung hanya pemilik lahan dan pemilik alat, serta oknum-oknum yang diduga mengizinkan aktivitas tersebut. Sementara masyarakat hanya mendapat dampak kerusakan lingkungan dan pencemaran air," ungkap Ayub.
Ayub memohon kepada pihak desa agar bertindak tegas dan memastikan, yang mana tanah (lahan) pribadi dan yang mana hutan desa.
"Pihak desa jangan hanya menancapkan plang himbawan larangan saja. Tolong tegaskan masalah hutan desa yang baru dikelola, diakui dan dimiliki oleh masyarakat beberapa hari lalu semenjak beroperasinya alat berat tersebut," tegas Ayub.
Selaku masyarakat setempat dan pribadi, Ayub tidak mengakui atau memiliki tanah di wilayah hutan tersebut.
"Karena saya tahu bahwa itu adalah hak wilayah desa Nanga Mentebah, yang berarti juga itu adalah hak masyarakat ramai dan bukan hak milik pribadi nenek moyang saya, sehingga dimohon kepada pihak desa, agar menarik kembali hutan (hak milik desa) yang sudah dimiliki secara perorangan tersebut meskipun mereka itu merupakan masyarakat desa Mentebah, atau pun masyarakat desa lain terkecuali itu benar-benar yang telah dikelola beberapa tahun lalu," ungkap Ayub.
Berdasarkan data yang diterima uncak.com, penolakan tersebut dilampirkan dalam surat pernyataan sikap oleh warga masyarakat setempat, mulai dari RT 01 hingga RT 07. Dimana masing-masing RT diwakili 6 (enam) orang Tokoh Masyarakat.
Terkait pihak desa yang dinilai tidak konsisten terhadap perubahan atas surat keputusan bersama sebelumnya, media ini sudah melakukan konfirmasi terhadap Kepala Desa Nanga Mentebah melalui pesan WhatsApp pada Minggu (15/3) pukul 16.30 WIB, dimana pesan tersebut sudah dilihat (dibaca).
Konfirmasi terhadap kepala Desa tersebut dilakukan untuk kepentingan klarifikasi atas yang disampaikan warganya kepada media ini. Namun, hingga berita ini diturunkan, Kepala Desa Nanga Mentebah belum memberikan jawaban. [Noto]
Tidak ada komentar