Kasus PHK Karyawan PT. PGM, Oknum Perusahaan Dituding Rasis dan Coba Lakukan Suap
Puluhan korban PHK dan SBSI 1992, saat menggelar audensi ke Pemkab Kapuas Hulu. |
Ninil, salah satu korban PHK oleh PT. PGM. |
Hadir pula Kepala Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian dan Transmigrasi Kabupaten Kapuas Hulu, Kepala Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan Kabupaten Kapuas Hulu, Kepala Bidang terkait, Asisten, Pengawas Ketenagakerjaan dan undangan lainnya.
Dalam audiensi tersebut, disampaikan sejumlah hal-hal yang dialami oleh 38 buruh, yang merupakan korban PHK oleh PT. PGM.
Adapun sejumlah hal-hal yang disampaikan terkait hak-hak PHK buruh tersebut, diantaranya yakni pesangon, Tunjangan Hari Raya (THR) dan Jaminan Hari Tua (JHT), yang tidak dibayar oleh PT. PGM kepada 38 buruh sejak di-PHK pada tahun 2021 - 2022 lalu.
"Buruh yang mayoritas kaum ibu-ibu rumah tangga dan merupakan warga setempat ini, sudah melakukan berbagai upaya meminta hak PHK-nya, termasuk oleh SBSI 1992 sebagai pendamping," kata Ketua DPD SBSI 1992 Provinsi Kalimantan Barat, Lusminto Dewa, ditemui usai audensi, Senin (12/06/2023).
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk meminta hak PHK para buruh tersebut, lanjut Dewa, diantaranya yakni rencana Bipartit pada 28 April 2023 lalu, namun ditolak oleh pihak perusahaan, kemudian tindak lanjut Bipartit pada 2 Mei 2023, dimana perusahaan ingkar janji tidak menjawab buruh pada 15 Mei 2023, dan yang terakhir yaitu tindak lanjut Bipartit 2 dan aksi damai pada 29 Mei 2023, dimana anak perusahaan dari Sinar Mas, yaitu PT. PGM tersebut, juga ingkar janji, dengan tidak menjawab buruh, yang sedianya pada 5 Juni 2023.
"Mirisnya lagi, berdasarkan isu-isu yang sampai kepada buruh, yang diduga ditebar oleh oknum di perusahaan tersebut, menyebut bahwa, perusahaan tetap ngotot menyuruh 38 buruh itu untuk menggugat perusahaan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pontianak," terang Dewa.
Menurut Dewa, jangankan menggugat perusahaan, untuk makan saja mereka susah, dimana ke 38 buruh tersebut sampai saat ini belum memiliki pekerjaan, sehingga secara ekonomi tidak memiliki apa-apa lagi sejak di-PHK.
"Tadi kita sudah menyampaikan secara gamblang bahwa memang ada hak masyarakat di situ, namun perlu saya tegaskan bahwa hal ini bukan perbuatan pemilik perusahaan, melainkan oknum di perusahaan tersebut, yang tidak melaksanakan regulasi yang sesungguhnya kepada tenaga kerja," tegas Dewa.
Dewa juga sangat menyayangkan ada oknum di perusahaan tersebut yang dinilai rasis, dimana oknum itu mencoba menyuap dua orang korban PHK, khususnya yang berasal dari Kabupaten Landak, dengan nominal Rp40 juta.
"Kalian kami beri uang Rp40 juta, dimana satu orang masing-masing Rp20 juta, agar tidak mendatangkan pasukan merah dari Landak ke Kapuas Hulu ini," kata Dewa menirukan ucapan oknum tersebut.
Artinya, kata Dewa, perusahaan memancing, kalau secara hukum adat Dayak, perusahaan tersebut sudah bisa dihukum karena telah mengadu domba.
Disinggung terkait tuntutan terhadap pihak perusahaan, Dewa menegaskan bahwa tuntutannya sudah jelas, yaitu hak para buruh tersebut dibayar oleh pihak perusahaan.
"Tuntutan kita terhadap perusahaan sudah jelas, yaitu hak mereka (pekerja) dibayar oleh perusahaan, dimana yang masuk kerja tahun 2010 sampai 2022 itu dibayar karena itu memang merupakan hak buruh yang telah diatur oleh pemerintah. Adapun yang masuk kerja tahun 2021 sampai 2023, itu yang mungkin bisa dikatakan oleh pihak perusahaan sebagai Buruh Harian Lepas (BHL)," sebutnya.
Menurut Dewa, inti dari investasi oleh pihak perusahaan yang ada di daerah, yaitu memperkerjakan dan mensejahterakan masyarakat di sekitar perusahaan itu berada.
"Harusnya itu yang menjadi konteksnya, bukan sebaliknya, yang membuat masyarakat di sekitar perusahaan justru menjadi sengsara akibat ulah dari perusahaan itu sendiri," tutur Dewa.
Sementara itu, Sekda Kabupaten Kapuas Hulu, Mohd. Zaini, mengatakan bahwa dari hasil audensi tersebut, pihaknya akan mengundang pihak perusahaan untuk dimintai klarifikasi.
"Setelah kita mendapatkan data maupun dokumen dari pihak yang melakukan audensi ini, maka kita akan mengundang pihak perusahaan untuk dimintai klarifikasi, apakah apa yang telah disampaikan ini sesuai atau tidak, dimana tentunya kita mencermati sesuai dengan aturan yang ada," tutur Sekda.
Sekda berharap, untuk pertemuan kedepannya dengan pihak perusahaan maupun pihak buruh, terkait masalah yang disampaikan tersebut, agar mendapatkan titik temu pada masing-masing pihak.
Terpisah, salah satu korban PHK, Ninil, yang bekerja selama 9 tahun di perusahaan tersebut, mengatakan bahwa pihak perusahaan melakukan PHK terhadap dirinya, dengan bahasa (kata) dipensiunkan, dimana pihak perusahaan tidak menjelaskan terkait apa masalahnya sehingga dirinya dipensiunkan.
"Saya sangat kaget sepulang dari lahan waktu itu, dimana pihak perusahaan mengatakan bahwa mulai besok saya disuruh off atau tidak bekerja lagi," kata Ninil, ditemui usai audensi.
Setelah itu, lanjut Ninil, ia pun menunggu sampai waktu gajian tiba, ia lalu mengecek rekeningnya melalui kartu ATM dan ia memperoleh gaji sebesar Rp2.150 ribu pada bulan itu, namun uang pensiun yang sebelumnya disebutkan tersebut, tidak ada.
"Saat saya mengusulkan ke kantor PT. PGM, mereka bilang masih diurus. Kemudian pada bulan berikutnya sampai tiga kali saya ke kantor, mereka bilang baru diajukan. Terakhir saya dipanggil oleh pihak perusahaan untuk mengambil uang yang mereka bilang uang sagu hati atau tali asih sebesar Rp8, 8 juta. Hanya itu yang saya diterima. Kemudian saya disuruh tanda tangan tanpa disuruh membacanya terlebih dahulu," ungkapnya. (Noto)
Tidak ada komentar